Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang mengguncang pesisir Timur Laut Jepang di Kepulauan Honshu, Jumat, 11 maret 2011, telah memicu gelombang dahsyat tsunami setinggi empat hingga 10 meter. Korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami Jepang diperkirakan mencapai 10 ribu jiwa. Sedemikian dahsyatnya tsunami di negeri Matahari Terbit itu, sampai-sampai Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan pun menyatakan bahwa kejadian tersebut telah menimbulkan dampak yang lebih parah daripada kondisi Jepang setelah perang dunia kedua. Yang amat mencemaskan, menurut para pengamat, adalah kemungkinan terjadinya radiasi dan kontaminasi akibat kerusakan dua reaktor nuklir Jepang.
Tak seorang pun menghendaki tragedi itu terjadi. Alam yang tengah “bergolak” benar-benar di luar jangkauan akal manusia. Hanya Tuhan yang Mahatahu. Tragedi tsunami Jepang, dengan demikian, perlu dipahami sebagai sebagai tragedi universal, bukan saja lantaran memberikan dampak ikutan di berbagai bidang kehidupan dalam tatanan dunia yang kian mengglobal, melainkan juga secara kultural dan kemanusiaan, tsunami Jepang kemungkinan besar akan menimbulkan hancurnya peradaban yang amat penting peranannya dalam dinamika dunia keilmuan, bahkan juga menumbuhkan trauma dan luka sejarah yang berkepanjangan. Bangsa kita, meski secara historis pernah ternistakan dan terlukai, layak berduka seraya menundukkan kepala memohon kepada Tuhan agar gempa dan tsunami Jepang 2011 beserta dampak ikutannya bisa secepatnya berakhir dan teratasi.
Dalam konteks demikian, tak berlebihan kalau ada yang berpendapat bahwa Presiden SBY dianggap lebih penting memperhatikan dampak gempa dan tsunami Jepang terhadap Indonesia daripada dampak “tsunami” pemberitaan The Age dan Sidney Morning Herald yang dinilai telah melakukan “pembunuhan karakter”. Sebagaimana dilansir berbagai media, ketika gempa dan tsunami melanda Jepang, pada saat yang (nyaris) bersamaan, “gempa dan tsunami” juga terjadi di Indonesia. Media massa Australia, The Age dan Sidney Morning Herald, dengan menggunakan data WikiLeaks, menuduh Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dampak gempa dan tsunami Jepang dinilai akan lebih memberikan ancaman serius bagi kondisi perekonomian dan politik nasional daripada sekadar berita heboh dua media massa Australia tersebut. Ancaman nyata di depan mata adalah ancaman PHK terhadap karyawan perusahaan-perushaan nasional yang berorientasi ekpor terhadap Jepang. Selain itu, ancaman krisis energi juga bisa berujung kenaikan harga BBM di dalam negeri. Jika kedua hal itu terjadi, dampaknya lebih dasyat ketimbang berita fitnah yang dihembuskan The Age dan Sidney Morning Herald.
“Jika pemerintah hanya mempersoalkan pepesan kosong WikiLeaks saja dan hanya asyik dengan drama politik sabun reshuffle, maka kesempatan (business opportunity) yang harusnya bisa didapat dari gempa Tsunami Jepang akan jadi pepesan kosong saja,” ujar Ketua Presidium Nasional Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, sebagaimana dikutip INILAH.COM, Minggu (13/3/2011). Peluang bisnis yang dimaksud menurut Arief adalah penjajakan dengan pemerintah Jepang agar perusahaan-perusahan kontruksi Indonesia bisa ikut tender untuk membangun kembali kota di Jepang yang hancur dilanda tsunami. Selain itu, pemerintah Indonesia bisa membuka pasar untuk perusahaan-perusahaan Indonesia yang memproduksi kebutuhan bahan untuk pembangunan kembali infrastruktur serta tempat tinggal di Jepang yang rusak akibat tsunami.
Ya, ya, mungkin ada benarnya juga kalau Presiden SBY tak terlalu terpengaruh oleh guncangan “tsunami” pemberitaan yang dianggap “hoax” tersebut, lebih-lebih kalau hanya berlandaskan sikap apologi berlebihan atau sekadar untuk pemulihan citra belaka. Publik dunia juga sudah bisa menilai akurasi pemberitaan tersebut. Benar-benar akan seperti memburu “pepesan kosong” dan buang energi sia-sia kalau berita “hoax” semacam itu dianggap sebagai ancaman serius.
Menunjukkan sikap empati terhadap para korban tragedi tsunami Jepang, mengevakuasi secepatnya WNI yang tinggal di wilayah rawan gempa, sambil menjajagi kemungkinan adanya peluang bisnis pasca-tsunami akan jauh lebih menguntungkan ketimbang berputar-putar cari alasan untuk merespon berita yang konon telah melanggar etika jurnalistik internasional itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar